Pages

Sabtu, 16 April 2011

Bagaimana Menjadi Orang Kaya

SEBAGIAN orang menyangka bahwa agama Islam adalah agama yang memerangi kekayaan dan justru menganjurkan kefakiran. Hal ini sarna sekali tidak benar. Bagaimana seorang muslim dapat menyangka bahwa Islam menganjurkan kefakiran, sedangkan Rasulullah. saw sendiri berlindung kepada Allah dari kefakiran?

Rasulullah saw. bersabda,
“Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran.” (HR аn-Nasai dan Ibnu Hibban)

Perhatikanlah bagaimana Rasulullah saw. menyerta-kan antara kata kufur dengan kata fakir.
Bagaimana mungkin Islam menganjurkan kefakiran, sedangkan Allah swt. telah memberi kenikmatan pada Nabi-Nya berupa kekayaan sebagaimana dalam firman-Nya,

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu bia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (adh-Dhuhaa: 6-8)

Rasulullah saw. juga telah memuji orang kaya yang saleh, sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki seseorang yang saleh. ” (HR Ahmad dan al-Haakim)

Islam tidak menganjurkan kefakiran, melainkan ber-usaha memperbaiki cara pandang terhadap makna kaya. Kaya menurut Islam bukan dilihat pada banyaknya harta yang dimiliki oleh seseorang, melainkan adanya rasa puas dan ridha dengan sesuatu yang didapat, baik banyak maupun sedikit.

Kekayaan, pada hakikatnya ada di dalam perasaan jiwa dan bukan pada apa yang dimiliki seseorang. Sebagai contoh, Ahmad memiliki uang sepuluh ribu pound. Ia merasa puas dengan pekerjaannya. Ia juga ridha dengan rezeki yang dikaruniakan Allah kepadanya. Ia juga rasa lapang dada karena ia bekerja dan memperoleh uang dengan jumlah itu. Inilah yang disebut dengan kaya.

Usamah memiliki uang satu juta pound. Akan tetapi ia tidak merasa puas dengan uang sejumlah itu karena ia membutuhkan jumlah yang lebih banyak daripada itu. Ia merasa cemas bila uangnya berkurang. Ia juga tidak ridha dengan hasil perdagangannya yang telah menghasilkan uang sejumlah itu. Ia merasa kebutuhannya lebih besar daripada uang yang dimilikinya karena menurutnya, uang itu semestinya berlipat ganda, namun ketika semua telah berlipat ganda, ia tetap merasa tidak puas menenma, Akibatnya, ia terus mencari tambahan dan tidak merasa ridha. Bahkan ia merasa cemas dengan masa depannya.

Hal seperti inilah yang termasuk fakir, walaupun harta yang banyak. Rasulullah saw. bersabda,
“Kaya bukanlah karna banyaknya harta, melainkan yang disebut kaya adalah kaya jiwa. (HR Bukhari dan Muslim)

Bila Anda ingin menjadi orang kaya, hendaknya Anda bekerja, kemudian ridha dengan rezeki yang telah Allah karuniakan kepada Anda. Selain itu, pujilah Allah atas pemberian-Nya. Semua ini tidak akan menghalangi Anda untuk mencari-cari sesuatu yang lebih afdhal, hanya saja jangan sampai merasa cemas dengan harta yang Anda miliki. Bertambah atau berkurangnya harta adalah kuasa Allah dan Anda tidak memiliki kekuasaan atas hal itu,

Kita hanya berencana dan berbuat, sedangkan hasilnya terimalah dengan ridha bagaimanapun keadaannya. bahagialah Anda dengan apa yang Allah karuniakan.

Dengan begitu,Anda akan menjadi orang kaya kelak. Penyebab utama dari rasa lelah dan cemas yang dirasakan orang-orang adalah adanya rasa kekhawatiran akan harta serta ambisi ingin mencari-cari dunia dengan rakus dan cinta buta. Mereka beranggapan seakan-akan dunia itu akan pergi meninggalkan mereka.

Ini merupakan penyakit menular yang sangat berba-haya. Penyakit ini telah berpindah kepada kita melalui perangkat media informasi yang telah memberikan gambaran kepada kita bahwa ada pertempuran harta dan uang di dunia. Media informasi ini adalah perangkat media informasi barat yang dikenal sangat mengagung-agungkan dan mengelu-elukan uang. Hal inilah yang menjadikan orang-orang terengah-engah kepayahan mengejar harta demi berbagai keuntungan yang tidak ada puaspuasnya.

Lebih parah, mereka mencari tambahan keuntungan dan berusaha mencarinya dengan berbagai cara tanpa memperhatikan halal atau haramnya. Selain itu, mereka juga tidak memperhatikan hak-hak orang lain dan kalangan fakir miskin. Ini merupakan sumber penyakit hidup materialistis yang tidak mengenal takaran kecuali berdasarkan harta. Mereka pun tidak menjalin hubungan kecuali karena harta. Akibatnya, orang yang tidak memiliki harta akan diremehkan dan dianggap tidak ada harganya, walaupun orang itu memiliki moralitas yang tinggi. Sebagaimana kami katakan, bahwa Islam tidak bertentangan dengan kekayaan. Akan tetapi, Islam itu menentang bila kekayaan dijadikan sebagai ukuran dan timbangan di antara sesama manusia.

Oleh karena itu, Rasulullah saw. berkenan untuk membenahi pemahaman mengenai hal ini di antara para sahabat beliau sebagaimana dalam hadits berikut. Sahl r.a. berkata

“Seorang laki-Iaki (kaya) lewat di hadapan Rasulullah saw., kemudian Rasulullah saw bersabda, ‘Apa yang kalian katakan mengenai orang ini?’ Mereka (para sahabat) menjawab, ‘Orang ini jika melamar ia pasti diterima. Jika ia memberi rekomendasi, ia akan dituruti. Dan jika ia berkata ia akan didengarkan.’ Sahl berkata lagi, ‘Kemudian Nabi saw terdiam.
Lantas seorang laki-Iaki fakir dari kaum muslimin lewat, kemudian Nabi saw. bersabda, ‘Apa yang kalian katakan mengenai orang ini?’ Mereka (para sahabat) menjawab, Jika orang ini melamar, ia tidak akan diterima. Jika ia memberi rekomendasi ia tidak dituruti, dan jika ia berkata, ia tidak didengarkan. Maka Rasulullah saw bersabda, ‘Orang yang fakir ini lebih baik daripada seisi bumi dibandingkan orang kaya ini. ‘” (HR Bukhari dan yang lainnya)

Jadi, kaya bukanlah segala-galanya. Pemilik harta bukan yang paling utama. Ukuran ketakwaanlah yang diperkenalkan Islam untuk membandingkan manusia satu sarna lain. Jangan sampai aliran materialisme itu, menjadikan
kita lupa untuk menjalin hubungan sosial yang erat jangan sampai sarana media informasi dengan kilauan materinya, menjadikan kita terengah-engah mengejar mnateri, serta jangan sampai menjadikan kita sedih dan cernas hanya karena materi. Akibatnya pun kita menjadi lupa bahwa sebenamya kekayaan ada di dalam jiwa sebelum ada di dalam rnateri. Ketahuilah, bahwasanya sekalipun seseorang kaya, hal itu tidak akan berguna bila ia tetap dilanda kecernasan.

Jumat, 15 April 2011

Arti sebuah kehidupan dunia di mata Islam

Dari Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu beliau berkata, “Kami mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya).” (HR Ibnu Majah (nο. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (nο. 229), Ibnu Hibban (nο. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan Syaikh al-Albani).

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan cinta kepada akhirat dan zuhud dalam kehidupan dunia, serta celaan dan ancaman besar bagi orang yang terlalu berambisi mengejar harta benda duniawi (Lihat kitab аt-Targib wat Tarhiib, 4/55 karya Imam al-Mundziri).

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Orang yang cinta kepada akhirat akan memperoleh rezeki yang telah Allah tetapkan baginya di dunia tanpa bersusah payah, berbeda dengan orang yang terlalu berambisi mengejar dunia, dia akan memperolehnya dengan susah payah lahir dan batin (lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igaatsatul Lahfaan, 1/37). Salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia (secara berlebihan), maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam musibah (penderitaan).” (Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igaatsatul Lahfaan, 1/37).

- Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata (dalam kitab Igaatsatul Lahfaan, 1/37), “Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir. Hal ini dikarenakan orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) jika telah mendapatkan sebagian dari (harta benda) duniawi maka nafsunya (tidak pernah puas dan) terus berambisi mengejar yang lebih dari pada itu, sebagaimana dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang berisi) harta (emas), maka dia pasti (berambisi) mencari lembah harta yang ketiga.‘” (HR. al-Bukhari, nο. 6072 dan Muslim, nο. 116).

- Kekayaan yang hakiki adalah kekakayaan dalam hati/jiwa. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (dalam) jiwa.” (HR. al-Bukhari, nο. 6081 dan Muslim, nο. 1051).

- Kebahagiaan hidup dan keberuntungan di dunia dan akhirat hanyalah bagi orang yang cinta kepada Allah dan hari akhirat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya.” (HR. Muslim, nο. 1054).

- Sifat yang mulia ini dimiliki dengan sempurna oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah yang menjadikan mereka lebih utama dan mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala radhiallahu ‘anhu berkata, “Kalian lebih banyak berpuasa, (mengerjakan) shalat, dan lebih bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dibandingkan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi mereka lebih baik (lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala) daripada kalian“. Ada yang bertanya, “Kenapa (bisa demikian), wahai Abu Abdirrahman?” Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Karena mereka lebih zuhud dalam (kehidupan) dunia dan lebih cinta kepada akhirat.” (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, nο. 34550 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’, 1/136 dengan sanad yang shahih, juga dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Lathaiful Ma’aarif, hal. 279). dibandingkan generasi yang datang setelah mereka. Ibnu Mas’ud


sumber : sobatmuslim.com